Monday, September 10, 2007

Relativitas Einstein dan Kontroversi Takdir

Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu menurut perhitunganmu.(Al-Hajj 47)

Ketika Albert Einstein pada tahun 1905 melemparkan gagasan Relativitas Khususnya, belum terfikirkan secara mendalam bahwa gagasan tersebut akan berdapak luas hingga menyentuh aspek-aspek filsafat bahkan “agama”. Walaupun sesungguhnya, Fisika memang semula dibangun dari keingintahuan manusia terhadap filsafat alam (philosophiae naturalis) dan bagaimana sesungguhnya ia bekerja, meskipun, seperti pengakuan Eistein sendiri, “orang tetap saja tidak mampu membuka isi jam (rahasia alam ini), tetapi setidaknya kita dapat menjelaskan apa-apa yang terjadi”
Inti dari Relativitas Khusus sesungguhnya amat sederhana, bahkan mungkin sempat terfikirkan oleh banyak orang awam, bahwa “sesuatu” bisa tampak berbeda untuk orang yang berbeda. Dalam bahasa ilmiah, teori ini mengatakan bahwa “sesuatu” (massa, jarak, waktu dll) yang sesungguhnya sama, mungkin tampak berbeda untuk kerangka acuan yang berbeda, sehingga cara pandang tiap orang (dalam bahasa Fisika biasa disebut Pengamat) terhadap sesuatu itu menjadi amat relatif. Penyebabnya adalah, tidak diketahuinya kerangka-acuan universal. Sayangnya, postulat ini banyak disalahfahami oleh banyak kalangan non-fisikawan sebagai ketiadaan kerangka acuan hakiki dan bahkan banyak fikiran-fikiran liberal yang dinisbatkan padanya. Padahal sesungguhnya postulat ini tidak pernah menyatakan bahwa kerangka acuan hakiki itu tidak ada, jelas tidak demikian. Teori ini hanya menyatakan bahwa ketidaktahuan manusia terhadap kerangka acuan universal itulah yang menyebabkan semua menjadi tampak relatif.
Dampak yang paling menarik dari Teori Relativitas Khusus ini adalah, dengan cukup radikal mengubah cara pandang kita terhadap waktu (bukan jam). Ketidakberdayaan kita terhadap waktu, menyebabkan kebanyakan dari kita menganggap bahwa waktu sedemikian berkuasanya sehingga kadang kita menyangka seluruh hal, bahkan Allah pun “tunduk” pada waktu. Anggapan inilah sesungguhnya yang kemudian menjadi akar timbulnya dua pemikiran besar tentang takdir manusia : Qadariyah dan Jabariyah, atau miskonsepsi terhadap taqdir.
Aliran Qadariyah (atau Mu’tazillah) beranggapan bahwa Allah tidak mengetahui apa-apa yang belum terjadi, sehingga segala sesuatu yang dilakukan manusia dan yang terjadi di dunia ini baru dan tidak diketahui Allah sebelumnya. Aliran Qadariyah menyangka bahwa Allah pun seperti halnya manusia tunduk pada waktu dan bekerja dengan keterikatan padanya sehingga semua kejadian yang akan terjadi tidak seorangpun tahu, begitu juga Allah. Lebih jauh lagi, menurut pemikiran yang didirikan Mabad al-Juhani ini berfikiran bahwa Allah tidak memiliki kekuasaan untuk mencampuri aktivitas manusia di dunia, sehingga manusia sepenuhnya bebas menentukan taqdir dan jalan hidupya.
Di sisi lain, secara diametral, faham Jabariyah (fatalis) mengatakan bahwa Allah sudah mengetahui dan menentukan seluruh kejadian yang telah, sedang dan akan terjadi di alam ini, untuk itu sesungguhnya manusia tidak memiliki daya apapun kecuali menjalani skenario Allah atas mereka, bahkan atas alam ini.
Selama berabad-abad, bahkan mungkin hingga kini pertentangan kedua faham ini tetap ada tanpa penjelasan yang tuntas dan memuaskan.

Teori Relativitas Khusus dalam bahasan dilatasi waktunya menyatakan bahwa jika sebuah benda bergerak dengan kecepatan sebesar v, maka “waktu” yang diukur menurut cara padangnya (katakanlah t) akan mulur dibandingkan jika ia mengukur waktu dalam keadaan “diam” (misalkan to). Perbedaan ini dapat dihitung menurut kaidah :
Bagi kalangan awam dan juga para Fisikawan pada awalnya, hal ini sungguh mengherankan, karena pemahaman yang beredar saat itu bahwa waktu oleh siapapun dan dengan cara apapun ia diukur, akan menghasilkan nilai yang sama. Akan tetapi, pada dasarnya keraguan ini dapat dimaklumi, sebab efek dilatasi waktu (pemuaian waktu) ini tidak teramati pada benda yang kecepatannya jauh di bawah cahaya (c~3x108 m/s).
Tetapi, hal lain yang paling menarik adalah, bagaimana jika seandainya ada benda yang kecepatannya menyamai atau bahkan lebih dari kecepatan cahaya (vc) ? Maka dengan merujuk pada persamaan tersebut, dampak langsung yang teramati adalah bahwa konsep waktu menjadi tidak terdefinisikan sama sekali. Hal ini jelas meruntuhkan anggapan kebanyakan orang bahwa waktu dianggap sedemikian kuasanya sehingga apapun seakan tunduk padanya. Meskipun demikian, anggapan ini sebenanya tidaklah terlalu salah sebab sampai saat ini, tidak ada satu benda pun yang memiliki kecepatan melebihi cahaya.
Pemikiran yang keliru adalah, kita menganggap Allah juga tunduk pada waktu, padahal tentu saja tidak, sebab waktu adalah juga salah satu makhluk-Nya yang tunduk pada kekuasaan Allah dan bukan sebaliknya. Ia (dengan segenap kuasanya) dapat mengatur waktu sekehendak-Nya, bahkan meniadakannya sama sekali, sehingga bagi-Nya, konsep kemarin, sekarang dan akan datang tidak memiliki makna sama sekali. Garis panjang perjalanan waktu bagi Allah dapat dipandang seperti sebuah titik, sekehendak-Nya. Ini berarti, sesungguhnya Allah dapat mengetahui seluruh proses alam ini bahkan apapun yang “belum” terjadi, termasuk nasib manusia, bahkan jumlah penghuni syurga dan neraka dan semua kejadian yang ada di dalamnya. Allah juga mengetahui, kapan selembar daun akan jatuh dari sebuah dahan dan sebutir debu akan tertiup angin di suatu tempat, semua dalam kekuasaan dan genggaman-Nya. Bagi manusia ketiadaan konsep waktu ini agak sulit dibayangkan, sebab manusia dan alam ini memang telah sedemikian rupa diatur oleh Allah melalui makhluk bernama waktu. Karena itulah ketika Dia “berkomunikasi” kepada manusia, Allah tetap menggunakan kerangka waktu, agar setiap pesan-pesan-Nya mudah difahami, meskipun demikian sesungguhnya Allah sendiri tidak memerlukan tidak terikat padanya, sebab Allah-lah sang pemilik waktu. Dialah kerangka-acuan hakiki itu.
Allah (dengan sifat-sifat baik yang tersemat pada-Nya) juga memilki hak dan kekuasaan untuk “campur tangan” menentukan nasib kita dan di sisi lain Allah juga melalui sifat adilnya mengaruniakan “kebebasan memilih” pada manusia sebagai tanda kemuliaan kita jika dibanding malaikat yang tunduk tanpa reserve. Di situlah letak kemuliaan manusia jika melakukan ketaatan.
Memandang Allah dengan paradigma manusia (yang amat terbatas pada waktu) adalah sebuah kekeliruan yang banyak terjadi, sebagaimana sebuah kekeliruan juga jika kita menakar keadilan Allah yang hakiki dengan keadilan manusia yang relatif. Sebab sekali lagi, Allahlah sang kerangka-acuan yang hakiki.

Sunday, September 9, 2007

SIFAT-SIFAT ALLAH DALAM RELATIVITAS EINSTEIN

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin ; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
(Al-Quran Al-Hadiid 3)


Maha Awal, Maha Akhir, Maha Zhahir, Maha Bathin., keempat nama Allah tersebut di dalam Al-Quran memiliki keunikan tersendiri. Pertama, keempat sifat itu hanya terdapat dalam sebuah surat dalam Al-Quran yakni surat 57 ayat 3. Maka jika kita mencari salah satu saja dari keempat sifat di atas dalam surat lain pada Al-Quran, maka kita tidak akan menemukannya. Keunikan kedua, keempat nama tersebut terletak dalam satu rangkaian pada satu surat dan ayat yang sama. Keunikan ketiga, ayat tersebut memiliki penjelasan unik sebagai berikut :
Secara bahasa arti dari zhahir adalah muncul, tampak atau jelas, dan istilah bathin berarti tersembunyi. Sedangkan awwal bermakna pertama dan akhir bermakna yang kemudian atau yang terakhir. Karena keempatnya tersemat pada nama Tuhan, maka al-Awwal berarti yang Maha Pertama, al-Akhir berarti yang Maha Akhir, dan dua sifat terakhir bermakna Maha Tampak dan Maha Tersembunyi.
Sekilas kita sedikit dibingungkan oleh pasangan sifat yang seakan kontradiktif ini. Bagaimana mungkin sesuatu memiliki sifat tampak dan tersembunyi sekaligus ? dan bagaimana menjelaskan sifat yang paling awal dan yang paling akhir berada dalam zat yang sama ?
Dalam menjelaskan dua pasang nama Allah yang tampak kontradiktif tersebut, Imam Al-Ghazali melalui karyanya yang berjudul Al-Asma’ Al –Husna Rahasia Nama-Nama Indah Allah, dengan hati-hati menyatakan, bahwa kedua sifat pertama yakni azh-Zhahir dan al-Bathin harus difahami secara relatif, Al-Ghazali berpendapat bahwa makna zhahir dan bathin tidak mungkin muncul dalam segi yang sama, namun harus difahami dalam segi yang berbeda. Ia (Allah) disebut bathin jika dilihat dengan alat-alat panca indera, namun zhahir jika disimpulkan dengan akal budi. Untuk menjelaskan hal ini Al-Ghazali menggunakan sebuah perumpanaan berikut :
“Jika anda perhatikan sepatah kata yang ditulis oleh seorang penulis yang luas pengetahuannya, kompeten, mampu mendengar dan melihat dan kemudian anda terpesona dengan tulisan itu, maka anda berkeyakinan bahwa penulisnya mestilah ada dan tidak mungkin tulisan tersebut terjadi dengan sendirinya”, begitulah Allah, menurut Al-Ghazali. Ia tidak kita lihat melalui indera kita namun melalui karyanya kita dapat menyimpulkan keberadaan-Nya.
Demikian pula ketika Al-Ghazali menguraikan makna al-Awwal dan al-Akhir, beliau menuliskan bahwa pada dasarnya kedua sifat tersebut harus difahami dalam segi yang berbeda, dan mustahil terjadi kedua sifat tersebut pada segi yang sama : Allah adalah awal, Yang Pertama, dalam kaitannya dengan keberadaan-Nya terhadap alam semesta ini dan seluruh makhluk-Nya, dan Dia adalah al-Akhir, Yang Terakhir, dalam kaitannya dengan perjalanan waktu.
Mungkin sebuah “kebetulan”, bahwa ketika pada tahun 1905 Albert Einstein menguncang dunia ilmiah melalui Teori Relativitasnya, ia menjelaskan pengaruh dari teori tersebut pada tiga besaran fisika, yaitu pada : relativisme waktu, berkaitan dengan umur benda, relativisme massa, berkaitan dengan eksistensi benda, sebab sesuatu disebut ada jika ia memiliki massa atau memiliki energi. Kemudian relativisme jarak, berkaitan dengan visual atau penglihatan.
Inti dari relativitas khusus adalah bahwa boleh jadi dua orang (atau lebih) yang mengukur waktu (dalam arti umur), massa dan jarak sebuah benda yang sama akan mendapatkan hasil yang tampak amat berbeda satu sama lain. Hal tersebut bukan disebabkan oleh perbedaan jenis atau kemampuan presisi dan akurasi alat ukurnya, namun karena memang seperti itulah adanya, tampak berbeda, bergantung keadaan si pengukur.
Einstein kemudian menambahkan dalam postulatnya, bahwa tidak ada benda di alam semesta ini yang kelajuannya melebihi kelajuan cahaya 3 x 108 m/s, sebab jika ini terjadi, maka sebagai dampak dari rumusan relativitas-khususnya, benda tersebut akan : pertama, tidak memiliki dimensi waktu, sebab waktu tidak lagi memiliki definisi matematis atau tak-hingga, tidak memiliki awal dan tak memiliki akhir. Kedua, benda tersebut akan memiliki massa yang teramat besar, sehingga tak bisa diwakili oleh angka sebesar apapun. Dan ketiga, Benda tersebut tak akan terlihat, sebab besaran seperti panjang, luas dan volume bernilai 0. Hal ini berarti tidak semua yang tak terlihat itu tidak ada.
Sehingga, seandainya ada benda yang melebihi cahaya (kelajuannya), maka bisa kita katakan benda tersebut tak berawal dan tak berakhir, berwujud (eksis) namun tak terlihat.

Mari kita simak sebuah ayat al-Quran berikut :
“Allah cahaya langit dan bumi... Cahaya di atas cahaya , Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (an-Nuur 35)

Allah selalu mensifati kekuasaannya pada cahaya, bahkan cahaya di atas cahaya. Setelah sekian abad kemudian, kita baru menyadari bahwa jika sesuatu berada “di atas” cahaya, maka seperti inilah sifatnya : Maha Awwal, Maha Akhir, Maha Tampak dan Maha Tersembunyi. Maka Ia adalah Allah, sang cahaya di atas cahaya.
Imam Al-Ghazali memang benar bahwa Allah Maha Awal dalam satu segi dan Maha Akhir dalam segi lain, namun lebih tepat jika kita katakan Allah tak terbatas dimensi waktu, Ia tidak berawal dan tidak berakhir menurut definisi makhluknya.
Al-Ghazali juga benar bahwa Allah memiliki sifat tampak melalui penyimpulan akal dan hati, sedangakan Allah bersifat tak tampak melalui panca indera dan rasionalitas. Namun lebih dari itu, Allah memang “eksis”, bahkan Maha Eksis baik secara rasio maupun secara akal-budi, dan Ia pun tak-tampak, baik melalui pemikiran rasional maupun lewat penyimpulan akal-budi.
Wallahu a’lam bishawab